Sebuah Refleksi Sejarah Islam di Nusantara

 

Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Penulis: Ahmad Syafii Maarif

Resensi: Buku:Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan

Belakangan sering kita mendengar tentang Islam Nusantara yang banyak menuai perbincangan dan perdebatan baik dikhalayak umum maupun juga di media sosial. Mengingat ini istilah yang asing bagi masyarakat, kita perlu tahu, sebenarnya apa maksud mereka dengan istilah islam nusantara itu. Apakah maksudnya agama islam yang dibongkar pasang, diganti sana-sini, sehingga menjadi agama sendiri yang berbeda sama sekali dengan ajaran islam Nabi Muhammad? Atau islam seperti apa?

Di sani ada sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif pernah menjabat Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Buku ini merupakan gagasan reflektif mengenai Islam nusantara yang lahir dan berkembang sepenuhnya bersenyawa dengan sejarah, dan bukan sedang ‘mengisi’ kevakuman budaya.

Islam tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia, atau bahkan perjalanan sejak awal hadirnya manusia. Islam bersentuhan secara langsung dengan perkembangan dunia yang terjadi dalam berbagai bentuk, selama berabad-abad. Islam, Indonesia, dan manusia, tiga hal yang kerap diperbincangkan di berbagai tempat oleh para pakar, mahasiswa, bahkan masyarakat biasa di sekitar kita.

Namun tak jarang ketiga hal tersebut diasingkan dari pergumulan fakta budaya dan sosial. Seolah ada sekat yang memilah keterkaitan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga hal tersebut seolah berdiri sendiri. Bicara islam ya islam, Indonesia ya negara, dan seterusnya.

Melihat berbagai macam pergolakan pemikiran bahkan perilaku yang terjadi dan berkembang, muncul kegelisahan apakah islam memang bisa menjadi pegangan dalam menjawab permasalahan yang terjadi di Indonesia bahkan dunia? Apakah Islam hadir sepenuhnya untuk dijadikan pedoman manusia?

Beruntungnya, kegelisahan di atas seakan terjawab saat Buya Syafii Maarif menuliskan berbagai refleksi dan pandangan perihal ketiga isu tersebut dalam buku berjudul “Islam, Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”.

Peluncuran Buku Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan
Sumber gambar: 
maarifinstitute.org
Dalam buku ini sang Buya Syafii Maarif menggambarkan situasi bumi Nusantara sebelum kedatangan Islam, telah didiami oleh penganut agama setempat, yakni Hindu, Budha, dan agama pagan lain yang lebih berorientasi pada penyatuan manusia dengan alam.

Buya memberikan pandangannya dengan menyebutkan bahwa Islam selalu masuk ke sebuah kawasan yang secara kultural tidak kosong dan hampa, tetapi sudah sarat dengan berbagai sistem nilai dan kepercayaan. Tentang catatan Buya ini, bisa kita cek kehadiran Islam di Nusantara yang telah jelas bahwa dulunya telah ada Buddha dan Hindu. Islam kemudian datang dan dapat diterima hingga saat ini terbilang sebagai agama mayoritas. Dalam waktu yang cukup lama, tidak terjadi hal-hal signifikan yang mengganggu hubungan antara mayoritas-minoritas. Bahkan keduanya dapat berdampingan dengan damai. Adapun kadang-kadang muncul konflik di era modern, penyebab utamanya bukan karena perbedaan agama, melainkan lebih banyak dipicu oleh perbedaan kepentingan politik dan ekonomi, karena dipelopori oleh para provokator tidak bertanggungjawab, parokial dan berniat buruk. Mereka ini cenderung menyukai konflik dan gemar mengeruk keuntungan dari kondisi keruh. Dan sebagiannya lagi, kondisi buruk tersebut dipicu oleh adanya sikap pongah sekelompok penganut ajaran Islam tertentu, yang menganggap kelompok lain sebagai Islam cacat.

Pembaca juga diajak merunut kembali sejarah, saat invasi Eropa ke Nusantara terjadi di awal abad ke-16, kerajaan-kerajaan yang dijumpainya sudah bercorak Islam, tetapi masing-masing independen dan bahkan tidak jarang saling berperang sesama mereka. Buya sepakat sesungguhnya kolonialisme memang wajib dikutuk. Namun ia menyadarkan kita, sesungguhnya karena adanya kolonialisme itu juga, kerajaan-kerajaan nusantara dipersatukan walau secara paksa, dalam satu sistem administrasi kolonial, kemudian pada akhirnya menjadi cikal bakal sebuah negara bangsa yang diberi nama Indonesia. Fakta tersebut di atas menjadi keniscayaan untuk membangun sebuah character building Islam dalam bingkai Keindonesiaan. Mengingat munculnya perbedaan visi antar muslim terakhir ini, Buya menyebutnya sebagai raison d’etre bagi lahirnya kelompok-kelompok radikal. Meski demikian, selagi dua arus besar NU-Muhammadiyah bergandengan tangan, bangsa ini akan tetap aman dari ancaman radikalisme ekstrem.

Berangkat dari fakta di atas, umat Islam sebagai penduduk mayoritas, punya tanggungjawab sejarah yang sangat besar untuk membela bangsa ini agar tetap utuh, tetap bersatu dan tidak oleng. Untuk itu, semestinya umat Islam sudah tidak lagi mempersoalkan hubungan antara Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Sebab ketiga konsep itu seharus sudah berjalan senapas seiringan, agar Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang ramah dan terbuka. Jika ketiganya telah senapas dalam jiwa, pikiran, dan tindakan umat Muslim Indonesia, Islam Indonesia akan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa. Seperti rasa keadilan, keamanan, dan perlindungan kepada semua penduduk Nusantara. Dengan demikian dapat terwujud sebuah bangsa negara yang sejahtera.

Buku ini mencoba mencari formulasi solusional terhadap permasalahan, tantangan serta hambatan yang dialami bangsa Indonesia, terkait Islam dan nusantara (kebangsaan). Untuk tujuan itu, Buya telah berhasil mendeteksi adanya tiga kisaran sumber problema bangsa ini, sekaligus menemukan kunci pemecahannya. Kunci tersebut rupanya terletak pada isu keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan. Berbagai problema yang telah dan mungkin timbul akibat pergesekan sosial, yang dilatari oleh persoalan yang mengatasnamakan agama, politik, ekonomi atau berbagai corak kepentingan lainnya, diyakini dapat dengan mudah diselesaikan bila mampu menyelaraskan tiga poros tersebut.

Meskipun tiga prisip tersebut, jika jujur mengakuinya, berapa puluh tahun lalu hingga saat ini telah dijadikan sebagai acuan NU dalam berorganisasi dan bermasyarakat, melalui pengembangan tiga bentuk hubungan, yaitu; alaqah diniyah (keagamaan), wathaniyah (kebangsaan), dan basyariyah (kemanusiaan). Sehingga dapat dibenarkan, seandainya dua arus besar agama nasional terdiri dari NU-Muhammadiyah dapat bersatu, maka problema apapun di negeri ini, termasuk diantaranya masalah terorisme, akan dapat dihadapi dengan baik.

Semoga bermanfaat bagi kita semua, dalam meletakkan hubungan antara Agama yang kita anut, posisi kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kultur yang heterogen, yang hidup bersama umat manusia lain yang memiliki sifat melekat sebagai manusia. Menuntut kita dapat memanusiakan orang lain secara seutuhnya.

Data Buku:
Judul:
Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan - Sebuah Refleksi Sejarah
Penulis:
Ahmad Syafii Maarif (Buya)
Penerbit:
Mizan, Jl. Cinambo No. 135 (Cisaranten Wetan), Ujung Berung, Bandung 40294.
Tanggal terbit:
April - 2015
Jumlah Halaman:
408
Kategori:
Sejarah Agama

Sebuah Refleksi Sejarah Islam di Nusantara 4.5 5 Imam Ali Fahmi Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Penulis: Ahmad Syafii Maarif Resensi: Buku:Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan K...


J-Theme