Tasawuf Muhammadiyah; Kolom Risalah
majalah MATAN (Majalah PW Muhammadiyah Jawa Timur), Edisi 74, September
2012 oleh Prof. Syafiq A. Mughni (Ketua PP Muhammadiyah).
Sekalipun
tasawuf menjadi tradisi yang telah lama berkembang dalam Islam, ada
kesan bahwa tradisi itu tidak berkembang dalam Muhammadiyah. Padahal
sesungguhnya secara subtansial tradisi itu cukup kuat berkembang dalam
bentuk tersendiri. Bagi Muhammadiyah, tasawuf adalah identik dengan
akhlaq (tasawuf akhlaqi), ihsan (berbuat sebak mungkin), atau
tazkiyatunnafs (mensucikan jiwa). Hanya saja karena tasawuf itu oleh
Muhammadiyah dipandang mengadung sitgma bid’ah, takhayul dan syirik,
maka tasawuf secara formal tidak mendapatkan legitimasi dalam rumusan
faham Muhammdiyah. Seandainya tidak ada stigma itu, maka nama tasawuf
tentu diterima dengan baik.
Gerakan
Muhammadiyah yang tajdidi (pembaharuan) memang membawa resiko, yakni
tergusurnya banyak trasdisi tasawuf yang menyebabkan kegersangan
spiritual. Kergersangan itu terjadi karena pengaruh modernisme dalam
Muhammadiyah. Modernisme lahir di Barat sebagai koreksi terhadap situasi
abad-abad itu, doktrin gereja memiliki peran sangat besar dalam
membentuk kehidupan dan memasuki hampir seluruh persoalan.
Gereja
menobatkan penguasa, mengesahkan perkawinan, menentukan kebenaran hukum
alam, memberikan ampunan atas dosa, memberikan barakah, menentukan yang
boleh dan tidak boleh, dan menarik upeti. Besarnya otoritas gereja itu
menyebabkan hilangnya kebebasan berfikir sehingga mengakibatkan
keterbelakangan. Modernisme awal di Barat seolah-olah menyatakan perang
terhadap dominasi agama. Perkembangan itu diikuti dengan lahirnya
sekularisme, positivisme, eksistensialisme, rasionalisme, yang semuanya
merupakan pengaruh dari modernisme Barat.
Modernisme
Barat itu kemudian masuk ke dunia Islam dan memberikan inspirasi
terhadap gerakan-gerakan atau intelegensia baru untuk menyerapnya ke
dalam konsep-konsep Islam. Muhammadiyah merupakan salah satu
gerakan-gerakan itu. Muhammadiyah, sebagaimana pembaruan-pembaruan
lainya, mendorong ijtihad dan pemanfaaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk kemajuan manusia. Rasionalisme dan positivisme mengikis
hak-hak perogratif ulama dalam Islam.
Kritik
Muhammadiyah terhadap taqlid dan kultus individu menyebabkan para ulama
di Indonesia khususnya semakin tersudut. Modernisme itu pada giliranya
menyerang tasawuf dan lebih-lebih tarekat karena dipandang bertentangan
dengan semangat kemajuan di zaman baru, zaman moderen. Modernisme
menggusur berbagaai macam kepercayaan yang tidak berdasar kitab suci dan
tidak masuk akal. Secara lebih spesifik, modernisme menghukumi banyak
hal yang diajarkan oleh ulama dengan takhayul dan kurafat. Dalam
pandangan modernis Islam, hal-hal tersebut bisa mengarah kepada syirik.
Selain
oleh modernisme, sikap Muhammadiyah terhadap tasawuf spiritual juga
dipengaruhi oleh reformisme. Jika modernisme berkembang di Barat dan
kemudian berpengaruh pada dunia Islam, reformisme muncul dari dalam umat
Islam sendiri. Perlunya pembaharuan didorong oleh kesadaran akan
kemunduran umat akibat penyimpangan ajaran Islam yang otentik dan
korupsi agama oleh ulama. Dalam semangat reformisme umat Islam harus
kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah, serta meninggalkan bid’ah,
takhayul khufarat dan syirik. Kultus individu, konsep wali, karamah dan
berkah yang melekat pada ulama dipandang sebagai korupsi agama, budaya
lokal dan asing yang telah mempengaruhi dan membentuk keyakinan dan
pengamalan agama menyebabkan ajaran Islam tertutup. Dengan demikian,
reformisme berarti purifikasi akidah dan ibadah.
Inspirasi
reformisme awal diberikan oleh Ahmad bin Hanbal yang hidup pada abad
ke-9 M. Melalui fatwa-fatwa dalam ceramah dan tulisanya, ia berusaha
membendung pengaruh filsafat Yunani yang masuk ke dalam pemikiran Islam.
Ia menyatakan bahwa filsafat dan kalam, yang dipengaruhi oleh filsafat
Yunani, adalah bid’ah. Karena pengaruh itu terlihat jelas dalam
pemikiran teologi Mu’tazilah, maka ia menyerang aliran itu. Ia juga
menyerang Syi’ah karena dipandang dari Sunnah Nabi.
Inspirasi
reformisme selanjutnya diberikan oleh Ibn Taimiyah, penganut Ahmad bin
Hanbal, yang juga berusaha membersihkan Islam dari pengaruh filsafat
Yunani. Ibn Taimiyah tidak hanya dikenal anti-Mu’tazilah dan Syi’ah
tetapi juga anti-tasawuf dan tarekat menyimpang. Keterlibatannya dalam
tasawuf dan tarekat masih menjadi perdebatan, tapi kecamanya terhadap
tasawuf dan tarekat yang menyimpang dari syariat dan penuh bid’ah dan
kufarat tidak diragukan lagi. Disamping itu Muhamad bin Abdul Wahhab,
yang juga berada dalam tradisi Hanbali, menjadi tokoh yang
menginspirasi. Dakwahnya untuk memberantas penyimpangan agama memiliki
gaung yang sangat luas bukan hanya di Arabia, tetapi juga di belahan
dunia Islam. Sikapnya yang anti tarekat menjadikan sasaran sinisme yang
dilabel dengan Wahabi.
Tasawuf
dalam dimensi spiritual seperti itulah yang ditolak oleh Muhammadiyah
sehingga muncul kesan adanya kegersangan spiritual. Tetapi, bagi
Muhammadiyah kenikmatan spiritual bisa dicapai dengan memperbanyak
membaca al-Quran, memperbanyak shalat sunnah, memperbanyak doa (yang
ma’tsurah), memperbanyak berdzikir, bertafakkur dan bertadabbur.
Pengajian-pengajian dalam Muhammadiyah juga bisa mengangkat tema-tema
sufistik yang bisa meningkatkan kualitas spiritual jamaah. Dengan itu,
kenikmatan dan kepuasan spiritual bisa diraih tanpa melaluli institusi
tarekat atau seremoni yang bersifat khusus. Itulah tasawuf (bisa juga
disebut akhlaq, ihsan atau tazkiyatunnafs) ala Muhamadiyah. Ini baru
soal tasawuf spiritual.
Majalah MATAN: Tasawuf Muhammadiyah
Label: Islamiyyah