Oleh jamaah Wahabi-Salafi, Istilah hizbi biasa diartikan dengan “membela
kelompok/ golongan tertentu” (muslim.or.id). Istilah ini digunakan
untuk melabel muslim lain yang tidak sejalan dengan gerak dakwah mereka.
Sebagaimana yang kita tahu, jamaah ini mengusung konsep dakwah Salaf,
sebuah dakwah yang mengajak muslimin kembali pada pemahaman
salafusshaleh. Dalam banyak kasus, positioning ini menjadikan mereka menganggap jamaah di luar mereka sebagai entitas yang tidak sesuai pemahaman salafusshaleh.
Bagi mereka, hanya Jamaah Wahabi-Salafi yang lurus dan sesuai dakwah
Rasulullah SAW dan salafusshaleh, sedang selainnya seperti Ikhwanul
Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Jama'ah Tabligh (JT), Nahdlatul Ulama
(NU), Muhammadiyah, dan seterusnya masuk dalam kategori hizbi dengan
alasan organisasi dakwah tersebut membela kelompok atau golongan
tertentu, bekerja serta menyeru manusia untuk mengikuti pemikiran tokoh
tertentu serta mengajak manusia untuk masuk ke organisasinya. Sedang
Dakwah kaum Wahabi-Salafi tidak demikian, mereka menyeru pada dakwah
sunnah, kembali kepada Al-quran dan hadits, bukan ke organisasi yang
hizbi. Begitulah logika yang mereka bangun. Benarkah demikian? Mari kita
simak.
Menjadi Salafi yang Baik.
Berdasar doktrin hizbi ini, aktivis Wahabi-Salafi menganggap bahwa
muslim di luar gerakan Wahaby-Salafy itu sudah menyimpang dari ajaran
salafusshaleh. Anggota jamaah yang ikut kajian jamaah di luarnya (IM,
HT, JT, NU, Muhammadiyah, dll) adalah terlarang karena sudah hizbi,
tidak kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah yang lurus sesuai penafsiran
mereka.
Konsekuensi logis dari sikap ini adalah penolakan mereka untuk menjalin
persatuan dengan jamaah lain meski itu untuk kebaikan dan persatuan
menghadapi musuh Allah. Alasannya klasik: tidak ada persatuan tanpa akidah yang benar (versi mereka).
Kritik pun bermunculan, terutama saat pengusung konsep dakwah salaf ini
terpecah dengan munculnya gerakan salafi sururi dan salafi-salafi lain
di dunia. Ini mematahkan asumsi mereka bahwa akidah yang benar akan
membawa persatuan, karena nyatanya sesama salafi –yang selalu klaim
hanya akidahnya yang benar—pun terpecah-pecah. Karenanya, bicara
persatuan umat adalah sikap mental dan good will, bukan perkara akidah semata.
Lebih lanjut, mereka punya istilah hukuman untuk anggota jamaah yang “berani” berbeda pendapat dari mainstream ulama mereka meski dalam perkara sosial-politik sekalipun. Mereka akan di tahdzir, hajr,
dll. Misal, seorang ustadz yang membela pemerintahan sah Presiden Mursi
serta merta akan ditahdzir sampai hajr karena tidak sesuai kebijakan
Raja dan Ulama Saudi. Anggota yang ikut organisasi keislaman yang tidak
berafiliasi/ tidak direstui ulama Saudi bisa dihajr karena dianggap
telah hizbi. Tentu, mengenai parameter siapa yang boleh ditahdzir
ataupun hajr, itu semua murni “kreativitas” penafsiran ustadz-ustadz
mereka saja. Begitu juga parameter kembali ke “ajaran yang benar”,
itupun merupakan “hak prerogative ” ustadz Wahabi-Salafi saja. Sekelas
MUI sebagai lembaga tertinggi ulama di Indonesia pun tidak akan
dianggap. Namun benarkah klaim mereka selama ini ?
Istilah "Hizbi" Adalah Bid'ahnya Wahabi Salafi
Pertama, perlu diketahui bahwa istilah Hizbi ini lahir belakangan, baru
ada setelah gerakan Wahabi-Salafy muncul di jazirah Arab. Sebelumnya
tidak ada salafusshaleh yang mengunakan istilah hizbi dalam kitab-kitab
mereka, apalagi untuk menyebut muslim lain yang tidak sefaham dengannya.
Jika kita tanyakan istilah hizbi ini kepada mereka yang setiap hari
mengkaji kitab kuning karangan ulama salafusshaleh di
pesantren-pesantren pun, mereka akan bingung dengan istilah ini. Maka
tidak berlebihan jika penamaan istilah hizbi untuk mencap muslim lain
itu termasuk kategori bidah, sesuatu yang diada-adakan, bukan berasal
dari Rasulullah SAW dan para salafusshaleh.
Kedua, hukum asal dari membela sebuah organisasi atau kelompok tertentu
dari umat Islam adalah dianjurkan. Karena jika bukan muslim yang membela
institusi Islam, siapa lagi? Mungkinkah Amerika Serikat (AS) sekutu
Saudi itu akan membela? Jamaah Wahabi-Salafi pun sering membela kelompok
ulama ataupun kebijakan Raja, meski kadang salah.
Al-Qur’an menyebut kata Hizbullah, bukan hizbi:
“ Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung”. (QS. Al-Mujadillah : 22)
Hizbullah adalah golongan yang berjuang di jalan Allah. Kata hizbullah dilawankan dengan kata hizbussyaithon.
“Mereka Itulah Hizbusyaiton. Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya Hizbusyaiton Itulah golongan yang merugi.” (QS. Al-Mujadillah : 19)
Jadi, al-Quran dan hadits sendiri tidak pernah mengkategorisasikan
muslim dalam istilah hizbi atau salafy. Ini benar-benar perkara baru
yang diada-adakan.
Hal yang jelas-jelas dilarang adalah jika seseorang fanatik kepada
golongannya dengan hawa nafsu, sehingga benar atau salah tetap diikuti
tanpa Ilmu, atau bahkan menganggap hanya golongannya yang benar,
sedangkan yang lain bidah, dan sesat alias masuk neraka. Maka ini adalah
bentuk Hizbi yang haram dan sangat tercela. Begitu pula sikap “selalu
membenarkan” ustadz, ulama atau kebijakan Raja (meski bersekutu dengan
penjajah AS) serta suka menyalahkan ulama lain yang berbeda pendapat.
Ketiga, ikut organisasi, jamaah ataupun harokah adalah keniscayaan, karena kita berada di zaman nations state dengan
kompleksitas sosal-budaya maupun hukum yang berbeda jauh dari masa 1400
tahun lalu. Di sana ada demokrasi, sistem perundangan yang menjamin
kebebasan berorganisasi (lihat pasal 28 UUD 1945). Kesalahan fatal
jamaah Wahabi-Salafi adalah menganggap bahwa (hanya) mereka lah yang
mengikuti salafusshaleh dan seolah kini hidup pada era Rasululah SAW dan
Salafusshaleh, dimana jamaatul muslimin masih berdiri dan seorang
muslim haram memisahkan diri dari jamaah. Jika konteknya jamaatul
muslimin (khilafah Islamiyah) masih ada, adalah wajar jika dikatakan
hizbi seorang/ sekelompok muslim yang memisahkan diri.
Kini berbeda ruang dan waktu. Adanya organisasi dakwah IM, HT, JT, NU,
Muhammadiyah, dll (jamaatu minal muslimin) adalah ijtihad sebagai respon
dari runtuhnya jamaatul muslimin yang terakhir (Khilafah Turki Ustmani)
yang lagi-lagi Wahabi-Salafi sendiri paling berperan dalam
keruntuhannya (1924), atas perselingkuhan mereka dengan AS dan Barat
untuk meruntuhkan Turki Ustmani, hingga bisa berdiri Dinasti Saud yang
menguasai Mekah-Madinah kini. Dibanding HT yang bercita-cita mendirikan
kembali khilafah (jamatul muslimin), saya tidak yakin apakah
Wahabi-Salafi punya cita-cita berdirinya Khilafah Islamiyah kembali
karena hal itu sangatlah berat. Bagaimanapun Sistem Khilafah Islamiyah
itu mensyaratkan dihapusnya sistem Kerajaan dinasti, tak terkecuali
Kerajaan yang Wahabi-Salafi bela sekarang ini.
Keempat, terkait tuduhan dakwah selain Wahabi-Salafi adalah dakwah yang
menyeru ke pemikiran seorang tokoh dan bukan mengajak ke salafusshaleh,
perlu dilihat konteks zaman dimana lahirnya sebuah gerakan Islam itu.
Kita ambil contoh berdirinya Muhammadiyah yang tidak bisa dilepaskan
dari situasi dan kondisi umat Islam waktu itu yang hidup di bawah
penjajajahan, masyarakat miskin dan terbelakang secara ekonomi dan
pendidikan. Singkatnya, umat Islama tidak punya jamaah yang bisa
menyatukan suara dan kerja mereka membangun bangsa, termasuk bagaimana
cara merebut kemerdekaan.
Maka mucullah tokoh mujaddid Ahmad Dahlan dengan pemikiran (ijtihad)
membangun sekolah, Rumah sakit, panti asuhan, dan amal usaha lain untuk
kemajuan ummat. Tentu sebuah organisasi modern yang tertata perlu sebuah
AD/ART, yang mengatur keanggotaan. Dakwahnya pun menyebar hingga ke
pelosok negeri karena pengikut Muhammadiyah mengkampanyekan dakwah model
Ahmad Dahlan ini ke masyarakat, mereka masuk organisasi dan berjuang
membangun ummat.
Amat lucu ketika ada sekelompok orang yang mengatakan gerakan
Muhammadiyah Hizbi karena mengajak manusia ikut organisasinya dan
pemikiran tokohnya, bukan kembali kepada ajaran Rasulullah SAW dan
salafusshaleh. Padahal Ahmad Dahlan sendiri berijtihad berdasar apa yang
ada pada Rasul SAW dan Salafusshaleh.
Mengikuti Salafushshaleh Atau Ulama Kelompok Sendiri
Saya tidak bisa membanyangkan jika yang hadir pada ruang dan waktu itu
(tahun 1912) adalah gerakan Wahabi-Salafi. Di tengah masyarakat
Indonesia yang terjajah, apakah mungkin persoalan kemiskinan,
penjajahan, kebodohan bisa diatasi dengan terminology bid'ah dan hizbi?
Atau bangsa Indonesia disuruh mengikut manhaj Salaf yang hanya ‘berani”
baca kitab dan taat ulil amri? Tentu Indonesia tidak akan pernah bangkit
dan merdeka dan tetap terjajah hingga kini, layaknya kondisi Palestina
atas Fatwa ulama Wahabi-Salafi yang memerintahkan penduduknya keluar
dari negeri mereka untuk diambil alih Israel.
Yang jelas, Muhammadiyah menjalankan organisasinya berdasar al-Quran dan
hadits serta merujuk salafusshaleh, sedang bagaimana gerak organsasi
dalam membangun peradaban; membangun sarana pendidikan, rumah sakit,
panti asuhan, dll, mengikuti ijtihad tokoh Ahmad Dahlan karena tidak ada
salafusshaleh yang membangun gedung-gedung tersebut.
Jadi, tidak perlu dipertentangkan organisasi Muhammadiyah yang mengikuti
pemikiran Ahmad Dahlan dengan kata “mengikuti salafusshaleh”, karena
Ahmad Dahlan sendiri pada kenyataannya mengikuti salafusshaleh, yang
berbeda adalah metode ishlahul mujtama’-nya tidak seperti cara
penafsiran ulama Wahabi-salafi. Hal ini tidak jauh beda dengan apa yang
dilakukan mujaddid lainnya di dunia (Hadratusy Syaikh KH. Hasyim
Asy'ari, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, Hasan
Al-Banna, Taqiyuudin an-Nabhani, dll). Mereka semua berijtihad terkait
kondisi masyarakat pada zamannya serta tetap mendasarkan ijtihadnya
pada Al-Qur'an dan hadits. Bedanya, cara menafsrkan dakwah mereka tidak
sama dengan cara tafsir dakwah wahabi-salafi. Itu saja!
Coba tanyakan perkara mutasyabihat (dinamis), semisal pertanyaan
bagaimana hukum demokrasi, atau hukum mengikuti pancasila dan UUD 1945?
Apakah mungkin Jamaah Wahabi-Salafi kembali langsung ke al-Quran hadits.
Tentunya mereka kembali ke pendapat syaikh Utsaimin, al-Albani dll.
Termasuk mengatakan dakwah mereka itu yang bermanhaj salaf, menetapkan
metode dan arahan kebijakan jamaahnya, termasuk memilih satu dalil dan
meninggalkan dalil lain untuk penyikapan pada penguasa, semua itu
berdasar pemikiran seoran tokoh. Tak ayal, merekapun berdakwah untuk
menyeru manusia ikut kelompoknya agar manusia Indonesia ikuti fatwa
ulama Saudi saja atau ustadz mereka saja, bukan ulama Azhar atau ulama
lain yang berbeda pendapat. Dari sini sudah kelihatan bahwa sejatinya
apa yang mereka tuduhkan kepada jamaah lain (hizbi) adalah apa yang
selama ini mereka lakukan juga.
Adalah standar ganda jika ada ulama di luar jamaahnya yang berijtihad
disebut sebagai pemikiran tokoh, sedang ketika ulama mereka berijtihad
dan berfatwa disebut itu yang ajaran salafusshaleh.
Sikap Seorang Muslim
Nilai seorang muslim tidak ditentukan karena dia ikut jamaah
Wahabi-Salafi, HT, NU, Muhamamdiyah ataupun Tarbiyah, tapi sejauh mana
akhlak Islami dan komitmennya pada persoalan ummat. Semua jamaah,
organisasi atau harokah hanyalah sarana menuju kejayaan Islam. Ijtihad
jamaah itu benar selama sesuai al-Qur'an dan sunnah. Indikasinya tidak
difatwa sesat oleh MUI.
Kesemuanya merupakan hasil ijtihad ulama yang punya potensi benar dan salah yang sama. Sikap jumawa (sombong) dengan
menganggap diri paling benar dan meremehkan ijtihad jamaah lain karena
doktrin hizbi ini hanya akan membawa pelakunya kepada sifat kibr yang menyeret ke dalam api neraka.
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ
خَرْدَلٍ مِنْ كِبْرٍ وَلَا يَدْخُلُ النَّارَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ
مِثْقَالُ خَرْدَلَةٍ مِنْ إِيمَانٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi, dan tidak akan masuk ke dalam neraka orang yang dalam
hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi.” (Sunan Abu Daud 3568)
Tidaklah ada kelebihan satu manhaj jamaah dengan manhaj lainnya. Baik
Salafy, NU, Muhmmadiyah, IM, JT, HT, semua punya potensi sama untuk
masuk surga. Bisa jadi satu jamaah lebih di satu sisi, namun boleh jadi
juga kurang di sisi lain. Demikian seterusnya. Karena umat Islam butuh
ukhuwah dan perstuan. Yang membedakan kita adalah ketaqwaan dan akhlak
sebagai seorang muslim; Inna akramakum `indallahi atqakum.
Jamaah Wahabi-Salafi punya kelebihan dalam kajian ilmu hadits dan fiqih
ibadah. Sedang jamaah Tarbiyah punya pengalaman dalam praktek Politik
Islam di Eksekutif dan parlemen untuk menghadang kaum sekuler- liberal.
Adapun HT dengan konsep Khilafahnya punya peran menghadang ideologi
sekuler serta memberi alternatif lain dari demokrasi agar tidak
kebablasan. Jamaah Tabligh punya kelebihan pada direct selling ke
pintu-pintu rumah ummat dan membendung perilaku hedonis masyarakat.
Muhammadiyah punya kelebihan dalam bidang sosial, pendirian sekolah dan
institusi pendidikan dan kesehatan. Sementara NU punya kelebihan dakwah
kultural, dakwah via pesantren pada masyarakat awam di pedesaan dan
wilayah pelosok.
Saatnya umat Islam berfikir pada hal-hal yang lebih besar, bukan sekedar
mempertentangkan mana dakwah yang paling salaf atau paling sunnah namun
tanpa kerja nyata untuk peradaban.
Dan berpegang-teguhlah pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai. (Ali Imran: 103)
Wallahu a’lam…
Sumber: Muhammad Zulifan - Center for Middle East dan Islamic Studies, University of Indonesia